Satu Pengalaman yang Membuat Bersyukur

Tulisan tentang "Budaya Kekerasan di Kalangan Pelajar" adalah tugas mata kuliah wawancara saya. Ketika melakukan wawancara sebenarnya tidak sulit, karena bisa dibilang ini bukan hal baru buat saya. Ketika masih kuliah D3 di Kampus Tercinta Terdahulu saya sudah sering melakukan wawancara, sebagian besar merupakan tugas kuliah. Namun, tugas wawancara saya kali ini membuat saya pontang panting. hal ini karena birokrasi yang menyulitkan dan kurangnya kerjasama dari beberapa pihak.

Pertama adalah dari dosen yang mengajar saya. Ia meminta saya mencari seorang ilmuan sebagai narasumber. menurut pengertian dia, ilmuan adalah orang yang bekerja sebagai peneliti di LIPI atau dosen. Hal ini berarti saya harus mencari seorang dosen untuk diwawancarai. Mulanya saya pikir tidak sulit, karena di kampus saya terdapat banyak sekali fakultas yang artinya ada banyak stok dosen untuk saya wawancarai. Nah muculah masalah kedua, yaitu fakultas yang saya cari kampusnya bukan di Bandung, tetapi di daerah yang bisa dicapai dengan menghabiskan waktu satu setengah jam perjalanan. Hal ini berarti saya harus menyediakan satu hari khusus untuk ke sana. Masalah inipun terselesaikan.

Ketika sampai ke tempat tujuan, muncul masalah berikutnya, yaitu tidak ada dosen yang bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai. Padahal saya adalah mahasiswa dari universitas itu!!!! Saya juga mendapatkan contact person beberapa orang dosen dari seorang kenalan, namun hasilnya sama saja. tidak ada yang bersedia. Bahkan ketika saya menanyakan kepada sekertariat jurusan dari fakultas yang saya kunjungi itu, orang sekertariat mengatakan bahwa saya harus menulis surat dulu ke rektor/dekan, baru bisa diproses. Sudah jadi rahasia umum bahwa proses surat menyurat di Indonesia sangat lama, bisa memakan waktu satu minggu atau bahkan dua minggu, padahal waktu saya hanya tinggal beberapa hari.

Teman seperjuangan saya kemudian menyarankan untuk mencari narasumber dari Kampus Tercinta Terdahulu. Kamipun mendapatkan beberapa nama serta contact person dari beberapa teman. setelah menghubungi beberapa orang, akhirnya ada dosen yang bersedia diwawancarai. Saya sangat bersyukur dengan hal ini.

Kejadian ini membuat saya makin menyadari betapa beruntungnya saya menjadi alumni Kampus Tercinta Terdahulu. Kampus Tercinta Terdahulu tidak mempersulit ketika saya membutuhkan bantuan. Sementara kampus saya saat ini selalu membuat segala sesuatunya sulit. Sangat mengecewakan!!!(ctr)

Budaya Kekerasan di Kalangan Pelajar

Pada Kompas edisi Selasa, 8 Desember 2009 terdapat berita tentang penganiayaan kakak kelas terhadap yuniornya di SMAN 82. Kasus tersebut kini resmi ditangani Polres Metro Jakarta Selatan. Kasus kekerasan dikalangan pelajar ini ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Metro Jakarta Selatan.

Ade adalah siswa kelas I SMAN 82 yang dipukuli seniornya. Sebabnya sepele. Pada hari Selasa (3/11), Ade dituduh melanggar wilayah kekuasaan senior di koridor di depan ruang kelas III, kemudian dipukuli dan menyebabkannya dirawat di RS Pusat Pertamina.

Proses mediasi tetap dilakukan dengan memanggil korban dan keluarganya guna dipertemukan dengan pelaku dan keluarganya. Kepala Sekolah SMAN 82 dan Komisi Nasional Perlindungan Anak yang selama ini membantu penyelesaian juga akan dimintai keterangannya.

Kasus seperti sering terjadi di sekolah. Kekuasaan yang dimiliki para senior membuat mereka bertindak semena-mena terhadap yuniornya. Dosen psikologi Universitas Indonesia yang juga seorang psikolog klinis, Nathanael Sumampouw, M.Psi, menjelaskan mengenai kasus kekerasan di kalangan pelajar. Berikut wawancara mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjajaran, Citra Ananda dengan Nathanael Sumampouw di food court Plaza Semanggi pada Sabtu, 12 Desember 2009.

Pendapat Anda mengenai berita tersebut?

Ini kan, inikan salah satu contoh budaya kekerasan di lingkungan sekolah ya. Budaya kekerasan di lingkungan sekolah ini diwariskan. Ketika misalnya saya dulu menjadi korban, kekerasan itu kan ibaratnya gencet-gencetan ya. Korban gencet-gencetan, nah sekarang ketika sekarang saya kelas tiga, saya harus donk ada didalam posisi yang jadi pelakunya. Ya secara umum sih seperti itu. Ditambah juga kemudian ada yang namanya kondisi-kondisi tertentu yang juga mendukung terjadinya gencet-gencetan ini.

Misalnya seperti apa?

Misalnya kondisi pertama mulai dari regulasi atau aturan sekolah. Yang kedua kadang kala hal seperti ini tetap dipertahankan karena diangggap sebagai ciri khas atau ke khasan yang unik dari sebuah sekolah, jadi itu tetap dipertahankan. Apalagi kemudian ada alumni-alumni kadang juga merasa bahwa pendekatan seperti ini membuat dia jadi orang, membuat dia jadi sukses. Maka kemudian dipake terus. Apalagi yang ketiga, banyak faktor lingkungan fisik. Misalnya sekolah itu tempatnya banyak titik-titik / spot-spot yang kemudian jauh dari pengawasan. Nah ini kan tempat-tempat itulah jadi sarana untuk kemudian menjadi tempet terjadinya gencet-gencetan.

Pengertian kekerasan /kekerasan dikalangan pelajar menurut ilmu psikologi?

Tindakan-tindakan yang betujuan (niatnya, intensi) untuk melukai salah satu pihak. Nah lukanya ini kemudian bisa berupa luka fisik, luka psikologis, lukanya ini kemudian bisa dikatakan menimbulkan ketidaknyamanan, menimbulkan perasaan tidak enak seperti sedih, marah, dan sebagainya oleh satu pihak yang umumnya lebih tinggi kepada pihak yang lainnya yang lebih dibawahnya.

Penyebab tindakan kekerasan dikalangan pelajar?

Penyebabnya umumnya lebih berkaitan dengan budaya, budaya sekolah. Yang kemudian dianggap kekerasan ini sebagai salah satu cara untuk membuat anak-anak sekolah ini mempunyai suatu ke khasan. Namun yang kedua, ini juga sering kali tidak didukung oleh aturan sekolah yang cukup. Sehingga kemudian ya udah. Jadi ini prakteknya tetap terus berkembang, ga ada ketegasan. Seolah-olah guru tuh kayak tau, tapi belagak tidak tau. Ini juga kemudian terjadi ketika anak yang menjadi korban anak yang diatas atau dibawah rata-rata. Kebanyakan badannya segini, terlalu tinggi atau terlalu pendek. Kebanyakan gayanya yang seperti ini, terlalu gaya atau terlalu tidak gaya. Jadi ada kesenjangan-kesenjangan seperti itu dikalangan siswa-siswanya juga. Hal ini juga memungkinkan kondisi seperti ini terjadi.

Jenis agresivitas apa yang paling sering dilakukan ? (verbal atau non verbal) mengapa?

Kekerasan dikalangan pelajar banyak ada yang verbal, ada yang prilaku. Umumnya kalau perempuan-perempuan verbal. Tapi klo pada siswa laki-laki lebih kepada fisik. Kalau bicara dampak, dampaknya lebih terasa pada perempuan. Karena pada laki-laki tadi fisik, oke udah selesai. Tapi pada perempuan, misalnya gini, kalimat verbal seperti ‘pelacur lo’. Itu lebih berdampak secara psikologis. Ini lebih lama pemulihannya dari pada pukul-pukulan pada laki-laki.

Bagaimana karakteristik para pelaku kekerasan dikalangan pelajar?

Kita kalau bicara ini orangnya seperti apa sih. Ini berarti dalam kurva normal. Kebanyakan rata-rata begini. Tapi ada juga kasus-kasus ekstrim. Sehingga kemudian bisa saja berbagai orang menjadi pelaku. Tapi kemudian pada umumnya yang saya tahu, pertama nih mereka kebanyakan datang dari keluarga yang pola asuhnya permisif. Permisif itu seba boleh. Mau ngapain boleh. Jadi, dia cenderung jadi raja. Kemudian yang kedua, mereka itu umumnya konsep dirinya rendah. Konsep diri itu penghayatan diri positif, sebetulnya rendah. Tapi kemudian dengan apa pelaku ini bisa.. klo bahasa kita kompensasi penghayatan diri yang rendah tersebut. Lalu kemudian pelaku umumnya adalah mereka yang dari segi keluarganya dan lingkungan terdekatnya melihat “pembenaran” dalam penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Bagaimana karakteristik korban kekerasan dikalangan pelajar?

Umumnya memang korban diatas rata-rata atau dibawah rata-rata. Ada korban yang pernah jadi pelaku. Dalam satu situasi dia jadi korban, tapi dalam situasi lain dia juga jadi pelaku. Tapi ada juga korban sejati. Korban sejati itu ya pokoknya dia it uterus menjadi korban. Jadi kalau ditanya apakah selalu demikian, umumnya seperti itu. Apalagi ditambah siswa-siswa tertentu tidal memiliki kemampuan untuk mengatakan tidak, untuk melawan, untuk menunjukkan ketidakinginan itulah yang membuat semakin menjadi.

Status dalam peer grup untuk pelaku itu bagaimana?

Kalau dalam peer ada yang menjadi ketuanya. Misalnya dalam sebuah aksi kekerasan dikalangan pelajar ada yang menjadi skenarionya, memimpin aksi, panglima perangnya, ada yang cuma jadi orang yang ngeliat, Cuma bantuin, ada yang cuma pendukung, sporter gitu, ada yang cuma ngeliat tapi bersikap negatif. Nah mereka itu mempunyai aspek psikologis yang berbeda-beda.

Apakah motivasi pelaku dalam melakukan kekerasan dikalangan pelajar?

Motivasinya selain membuktikan, artinya mendapatkan pengakuan. Kadang kala saya melihat juga, ada semacam “tuntutan” untuk berprilaku demikian. Karena inikan budaya. Artinya ini merupakan tradisi yang harus tetap dipertahankan. Ada tekanan kelompok.

Dampak psikologisnya?

Dampak psikologisnya banyak, tapi yang paling besar adalah penghayatan diri yang negatif. Penghayatan diri yang negative itu kemudian implikasinya banyak menjadi putus sekolah, pindah sekolah.

Cara penanganan korban bagaimana?

Biasanya kita dengan pelatihan-pelatihan keterampilan sosial, social skill. Bagaimana menghadapi tekanan dalam kelompok, bagaimana bisa asertif. Asertif itu mengemukakan hak tanpa menyakiti orang lain. Bagaimana berkata tidak. Tapi pendekatannya pun harus menyeluruh, ga bisa dikorban aja. Sosialisasi hukum juga harus dijalankan. Ada Undang-undang yang mengatur tentang penganiayaan dan sebagainya. Dan kasih contoh bahwa kekerasan tidak selalu jadi jalan keluar.

Bagaimana cara penanganan terhadap pelaku?

Pelaku kan kebanyakan penghayatan dirinya negatif jadi penanganannya lebih ke bagaimana membangun harga diri, mereka dikasih lihat pada model-model yang anti kekerasan.

Jadi kurang lebih cara penanganannya sama dong?

Ya, keterampilan sosial. Karena ini kan social skill, yang terjadi ketika berinteraksi.

Apakah ada hubungannya antara hubungan guru-murid-dan lingkungan sekolah dengan prilaku kekerasan dikalangan pelajar?

Ya, pengaruh banget. Jadi kan saling kait mengkait. Jadi gurunya seolah-olah cuek, nah ini kan semakin menyuburkan praktek-praktek ini.

Menurut data dari tempo interaktif, sepanjang tahun 2008 terdapat 1.926 kasus kekerasan, 28% diantaranya terjadi di sekolah. Dari 28% itu, 42% dilakukan oleh teman sekolah. Bagaimana pendapat anda?

Betul. Jadi yang kita lihat disini kan memang sekolah itu jadi tempat yang kekerasan itu sering kali terjadi. Memang kasus-kasus kekerasan terjadi di lingkungan yang sudah dikenal, di lingkungan yang familiar bagi korban. Karena buat si pelaku juga kan bisa memperkirakan, memprediksi, merencanakan.